Ada orang yang tumbuh dari (live by) melawan kerasnya alam. Menantang badai, menerjang ombak, bahkan membabat sendiri hutannya agar bisa bertahan hidup. Orang seperti ini terkenal sangat temperamen, gigih, sangat percaya diri dengan kemampuannya, bahkan seringnya ”dibenci” oleh banyak orang karena pikiran dan tindakannya jauh melebihi orang-orang pada zamannya. Ia sangat yakin dengan kaki dan tangannya sendiri. Itulah sebabnya, ia sering dinilai sebagai orang yang sombong, lupa daratan, bahkan lebih sering melihat ke atas. Simpelnya, ada ruang dan jarak antara dirinya dan lingkungan sekitar.
Tapi, ada juga orang yang tumbuh dengan (live with) mengikuti apa yang alam mau. Tenang, tidak banyak grusak-grusuk, alon-alon asal klakon, tak banyak bicara, sering bekerja di belakang layar, bahkan cenderung tidak mau diekspose ke publik tentang siapa dirinya. Orang dengan tipikal seperti ini sangat perasa. Tapi, bukan berarti sensitif. Ia peka dengan lingkungan sekitar. Ia menggunakan perasaannya untuk menerjemahkan apa yang diinginkan oleh masyarakat banyak. Yang menjadi pertimbangan utamanya, biasanya, bukan pada tataran rasionalisasi berpikirnya. Tapi, perasaannya untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah. Singkatnya, ia hidup dengan mengalir seperti air, bahkan tak mengapa jika air itu masuk ke selokan sekalipun, karena ada hikmah yang diambil darinya
Dua tipikal karakter manusia seperti ini, sering saya temukan dalam banyak kesempatan. Memang, ada varian lain dan atau bisa jadi ada ”varian antara” yang menjembatani antara keduanya. Tapi, umumnya, saya bisa mengambil kesimpulan: hanya ada 2 kelompok besar tipikal manusia di dunia ini. Dari mereka saya belajar banyak. Dalam diam, saya perhatikan bagaimana mereka bekerja atas kehendak dan pikirannya. Dalam diskusi, saya mencoba menyelami karakter diri mereka masing-masing. Menyelam, tak sekadar mengapung. Karena itu berarti seluruh tubuh saya basah. Menyelam, bukan tenggelam. Karena itu berarti saya melakukannya dengan penuh kesadaran.
Meskipun demikian, ada satu hal yang menyamakan diantara dua tipikal manusia ini. Mereka sama-sama bekerja atas idealisme mereka masing-masing. Kita tidak sedang bicara benar-salah atas sebuah idealisme. Tapi, kita sedang bicara idealisme atas dasar sebuah keyakinan yang dibangun dalam benak pikirannya. Mereka punya visi yang sama atas dasar sebuah idealisme. Visi ini dibangun secara perlahan-lahan dan dengan kesabaran yang luar biasa. Pahit-getir kehidupan seolah menjadi bumbu yang membuat tasty-nya sebuah perjalanan. Perlahan ada yang jatuh dan terseret arus. Tapi, juga banyak yang berhasil membangun sel-sel kecil sehingga menjadi sebuah menara. Semua berada dalam satu garis edar yang sama, meski kadang terlihat berseberangan
Sekarang, kita tinggal pilih ingin menjadi manusia tipikal mana??
“Kalau ingin menjadi pohon yang tinggi yang bisa menaungi banyak orang, maka harus mau banyak pantangannya. Tahan terhadap godaan harta, cacian, pujian, kekuasaan, wanita, dan sebagainya. Kalau tak mau, jadilah saja rumput. Enak ,tapi diinjak!.”, Ujar salah seorang ustadz di Lombok Timur.
Lombok Timur, 27 juni 2012