Hari ini, Jumat (15/6), Umat Islam di seluruh dunia merayakan salah satu di antara dua hari rayanya, yaitu Idulfitri. Sebelum merayakan, diawali dengan cara bersyukur: menunaikan dua rokaat di pagi hari setelah shalat shubuh, dilakukan secara berjamaah, dan di tempat terbuka.
Bahkan, begitu urgennya, wanita yang haid pun dan anak-anak pun dianjurkan untuk keluar rumah meski tidak perlu ikut sholat.
Begitulah Islam mengajarkan: sebelum kita mendapatkan kebahagiaan, awali dengan cara bersyukur, dilakukan secara bersama-sama, dan di tempat terbuka; agar kebahagiaan itu menular dan dirasakan oleh banyak orang. Tak terkecuali, yang berbeda agama.
Hikmah yang bisa diambil dari momen Idulfitri ini adalah bahwa ajaran Islam itu mengandung dua hal, eksklusif sekaligus juga inklusif. Hari raya-nya diperingati hanya untuk Umat Islam, tapi kebermanfaatannya dirasakan siapapun, termasuk yang agnostik dan atheis.
Dalam pemahaman yang lebih fundamental, aqidah dalam Islam pun sangat eksklusif. Syariat lain yang berhubungan dengan hubungan transendental kepada Tuhan, sangat ketat diatur. Ia tidak bisa dicampur dengan Tuhan lain di luar Islam, dan karena begitu sakralnya, cara untuk beribadah juga eksklusif: harus benar-benar dalam kondisi suci.
Orang yang melakukan sholat, misalnya, tidak bisa menyebut nama Tuhan selain Allah. Ia harus dilafalkan dengan bahasa arab, jika tidak, maka tidak sah. Jika belum mampu, maka ‘diwajibkan’ untuk belajar semaksimal mungkin. Karena kedewasaan (akil baligh) menuntut banyak hal, beberapa di antaranya adalah sholat dengan laku sempurna.
Namun, kebermanfaatan orang yang melakukan sholat, tidak sekadar dirasakan untuk Umat Islam saja. Karena itu, tujuan dari sholat adalah tanhaa ‘anil fahsyaa-i wal munkar. Hasil dari sholat (Ibadah) itu harus bisa dimanifestasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, dalam ruang lingkup antar sesama umat manusia (muamalah).
Karena itu, seseorang yang giat beribadah tapi masih melakukan korupsi, misalnya, berarti level sholatnya dalam Ilmu Tasawuf, Masih sebatas syariat, belum mencapai level tertinggi, yaitu Makrifat dan Hakikat.
Begitu pun dengan perintah syariat lain, seperti berhijab, haji, syahadat, dan sebagainya. Lakunya spiritual-transendental, tapi manifestasinya konkret-komunal. Semua dimensi syariat dalam Islam, selalu begitu: fisik dan metafisik, ibadah dan muamalah, mahdhoh dan ghoyru mahdhoh. Islam menyentuh semua aspek dalam kehidupan (syamil mutakammil).
Jika logikanya dibalik, maka seseorang yang berperilaku buruk dalam lingkup sosial berarti, dia belum menginsyafi ibadahnya dengan baik. Jika ibadahnya belum baik, berarti hubungan dengan Tuhan nya juga tentu bermasalah. Ketersambungan antar laku inilah yang menegaskan Islam tidak menganut Liberalisme dan otomatis juga tak berkesusaian dengan Sekularisme.
Islam, salim, salaamat, keselamatan.