Bincang Bersama Sesepuh: Sebuah Proses Mencari Makna


Semalem, sekitar pukul 9, saya ngobrol banyak dengan salah seorang pengurus masjid di Kalibata. Bapak Rusdi, namanya.

Beliau cerita banyak tentang kondisi masjid, kondisi sosial-politik nasional, hingga persoalan keluarganya..

Dilihat dari perawakannya, saya mengira usia Beliau selisih sekitar 25 tahun dari saya. Rambut dan jenggotnya yang memutih, bicaranya yang pelan, sampai banyaknya pengalaman hidup yang Beliau ceritakan, cukup mewakili dari rentanya usia Beliau.

Apa yang saya dapatkan dari momen itu adalah bahwa soal bagaimana kita memaknai sebuah hidup. Betapa, dalam aktivitas keseharian, seringkali kita kehilangan makna tentang apa yang kita jalani, apa yang kita pikirkan, serta apa yang kita ucapkan.

Bekerja adalah aktivitas kita menjemput rezeki-Nya. Iya. Itu betul. Tapi dalam kerangka aktivitas itu, manusia punya ruhiyah yang tidak dipungkiri akan menentukan motif ia dalam menjemput rezeki itu. Jika ruhiyahnya kosong dari orientasi langit, maka tak ubahnya seperti mesin yang terus bekerja di bumi tapi tanpa makna.

Pak Rusdi, alumni ITB itu, terus mendidik anaknya agar menjaga kehalalan rezeki dari tangan yang dihasilkan dari pekerjaannya.

“Saya tidak ingin dari jari-jari saya ini, nak,” begitu Beliau memanggil saya,” lahir sesuatu yang haram untuk anak-anak saya.

“Setiap botol susu yang saya beli,” tambahnya,” tidak ingin dibeli dari sesuatu yang syubhat,”

Saya mendengar tiap kata lirih yang ia sampaikan. Penuh makna. Dalam. Seperti keluar dari rongga hatinya yang paling jernih, hingga tak ada sedikit pun yang tertinggal. Hati kami seperti bertaut, meskipun jarang sekali bertemu. Tapi dari tiap kata yang ia sampaikan, sangat jelas ajaran integritas yang ingin Beliau sampaikan ke saya.

“Hidup bukan untuk mengeluh dan mengaduh,” jelasnya. “Jalanilah setiap momen hidupmu saat ini, seberapapun kamu tidak merasa nyaman terhadapnya. Tapi, yakinlah, di luar sana, banyak orang yang antri ingin beraktivitas baik sepertimu,” ujarnya lembut seperti menangkap sesuatu dariku.

Akhirnya, kami berpisah sekitar pukul 11 malam. Kami tutup obrolan sembari cicipi sesobek roti bakar dan segelas jus jambu saat itu. Terakhir, yang saya ingat dari Beliau: selalu naik turun tangga di pagi dini hari, hanya untuk ambil air wudhu sholat shubuh berjamaah di masjid.

Allahu yarham. Rahmati orang-orang sepuh seperti Beliau. Berkahi hidup mereka yang senantiasa jadi suri tauladan di tengah masyarakat, meski tanpa sorotan kamera dan media. Dari mereka, kami belajar ketulusan. Dari mereka, kami belajar menjadi baik terus dan terus dari waktu ke waktu.

Yaa muqollibal quluub tsabbit quluubana ‘alad diinik.

kamis 23 Maret 2017

 

995589_10202041313386779_616799442_n

Tinggalkan komentar